Rumah berdinding batu itu tampak biasa-biasa saja jika dibandingkan
dengan Stadion Nou Camp yang agung dan megah, yang jaraknya hanya
sepelemparan batu. Namun, bekas rumah pertanian khas Catalunia abad
ke-18 itu punya peran lebih penting pada perjalanan prestasi klub sepak
bola Barcelona. Itulah La Masia de Can Planes, yang menjadi jantung
pasukan ”L’equip Blaugrana” dan menjadi tonggak paling penting dalam
sejarah klub juara Eropa 2009 itu.
Dari rumah batu itulah lahir pemain-pemain bintang yang musim lalu
menjadi pilar tim asuhan Pep Guardiola saat merebut treble winner:
Carles Puyol, Xavi Hernandez, Victor Valdes, Gerard Pique, Andres
Iniesta, Sergio Busquet, Bojan Krkic, dan tentu saja Lionel Messi.
Bahkan, La Masia adalah almamater bagi sejumlah pemain bintang yang
bersinar di Eropa, seperti Cesc Fabregas (Arsenal) atau Jose Manuel
Reina (Liverpool).
Guardiola sendiri alumnus La Masia. Pada usia 13 tahun, dia
meninggalkan kehangatan rumah orangtuanya di Santpendor, sekitar 70
kilometer dari Barcelona, untuk berlatih di La Masia pada tahun 1984.
Delapan tahun kemudian, mimpi Guardiola menjelma menjadi kenyataan. Pada
tahun pertamanya di tim senior pada 1992, Barcelona menjadi juara Piala
Champions (sekarang bernama Liga Champions). Tujuh belas tahun
berselang, Guardiola mencatat sejarah lagi. Dalam tahun pertamanya
sebagai pelatih, dia merebut Liga Champions, plus dua trofi lain, Liga
Spanyol dan Piala Raja.
Diresmikan sebagai pusat pelatihan bagi tim yunior Barcelona pada 20
Oktober 1979, La Masia menjadi salah satu kamp paling elite bagi
bakat-bakat super dari seluruh dunia. Dalam 30 tahun, sebanyak 450
pemain bola muda memancangkan mimpinya di bangunan dengan luas 610 meter
persegi tersebut. Dari jumlah itu, sebanyak 40 pemain menjadi pemain
utama Barcelona, sementara sisanya menyebar di klub-klub lain di Spanyol
dan pelosok Eropa.
Sukses La Masia, menurut Carles Folguera yang menjadi direktur di
kamp itu sejak 2002, adalah kombinasi antara tradisi citra klub yang
penuh gaya, permainan menyerang, dan pendidikan multidimensional. ”Yang
membedakan kami adalah pendidikan yang berlangsung selama 24 jam sehari
dalam tujuh hari sepekan,” ujar Folguera kepada Reuters, pekan lalu.
”Tak ada satu pun bakat (pemain) yang tak bisa kami asah. Kami punya
barisan profesional yang mampu memenuhi semua kebutuhan pemain-pemain
muda penuh bakat yang haus dan punya mimpi besar menjadi juara,” kata
Folguera yang mantan kiper tim hoki Barcelona.
Barangkali kombinasi yang diutarakan Folguera ada benarnya sebagai
kunci sukses La Masia. Namun, kombinasi itu tak akan pernah berjalan
tanpa kehidupan normal penghuni kamp yang masih berada di permulaan masa
remaja. Mereka sungguh menjalani kehidupan seperti anak sebayanya.
Saat ini ada 60 penghuni kamp La Masia. Sepuluh di antara mereka
menempati bekas rumah pertanian yang berlantai dua dan sisanya menempati
asrama yang menyatu dengan Nou Camp.
Seperti remaja lain, penghuni La Masia memulai kegiatannya pada pukul
tujuh pagi di kelas mengikuti pelajaran sekolah. Kegiatan sekolah
berakhir pada pukul satu saat makan siang. Setelah istirahat sebentar,
mereka belajar secara mandiri selama dua setengah jam. Pada pukul enam
sore, para talenta yang sebagian berasal dari Brasil, Argentina,
Hongaria, Georgia, Kamerun, dan Senegal ini berlatih sepak bola di kamp
latihan Sant Joan Despi. Pukul 21.15 mereka makan malam dan lampu asrama
dimatikan pukul 23.30.
Pekan lalu, saat La Masia merayakan ulang tahun ke-30, Guardiola
ditanya kesan-kesannya tinggal di asrama bersejarah itu. ”Saya ingat
hari pertama saat orangtua saya mengantar dan membekali saya dengan
makanan yang enak,” kenang Guardiola. ”La Masia adalah pilar penting
klub. Di sini kami menjaring bakat, mendidik agar mereka punya bekal
berharga, bukan hanya bagi sepak bola, tetapi juga bagi kehidupannya.”
Kesaksian Guardiola dibenarkan Guillermo Amor, gelandang yang pernah
tinggal di asrama La Masia antara 1980 dan 1988. ”Para guru dan
pembimbing di sini memberikan bekal bagi kehidupan pribadi. Meskipun
tidak masuk dalam tim utama, Anda tetap punya bekal untuk hidup pada
arah yang lain, atau bahkan hidup dengan cara yang lain,” ujar Amor yang
sejak hijrah dari Barcelona bermain untuk Fiorentina, Villarreal, dan
Livingston.
”Sangat tidak mungkin, saat Anda melewati La Masia, untuk tidak
menoleh ke sebuah tempat yang dulu sempat menjadi rumah Anda,” ujar
Amor.
Jika La Masia memberikan bekal kehidupan pada arah yang lain bagi
Amor, Guardiola sungguh menikmati brand of style kawah candradimuka yang
juga melahirkan sejumlah pemain tenar seperti Sergi Barjuan, Ivan de la
Pena, dan Sergio Garcia tersebut. Seperti kata Folguera, Guardiola
sungguh menjiwai seni sepak bola menyerang yang bak ”setiap tarikan
napas” setiap penghuni La Masia.
Musim lalu, sepak bola indah dan mematikan Barcelona menggenggam
dunia dengan tiga mahkota bergengsi. Musim ini, mereka tetap superior
dalam persaingan dengan Real Madrid yang musim panas lalu membelanjakan
uang sekitar Rp 2,7 triliun untuk membangun ”Los Galacticos” baru.
Dikejutkan dengan kekalahan kandang melawan Rubin Kazan di gelaran
Liga Champions, pasukan Guardiola menunjukkan lagi kelasnya sebagai tim
paling memukau di muka bumi saat menghadapi Real Zaragoza. Sepak bola
indah yang dipadu dengan penyelesaian mematikan menghasilkan enam gol
dan bahkan bisa sampai 10 gol dengan tambahan sedikit keberuntungan.
Messi, yang masih kelelahan setelah menjalani laga kualifikasi Piala
Dunia, sempat membukukan satu gol, dan Barcelona bertengger di puncak
klasemen dengan unggul tiga angka atas Real Madrid.
La Masia, sementara itu, tinggal menghitung hari. Manajemen Barcelona
memutuskan membangun fasilitas baru bagi para talenta mudanya. Proyek
ini untuk sementara tertunda akibat terbatasnya anggaran, tetapi La
Masia tetap akan menjadi tonggak sejarah bagi Barcelona.